Madras Ribath menambahkan 5 foto baru.
11 Desember 2015
ROMO KH ABDUL HAMID ABDULLAH PASURUAN
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.Pendidikan : Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang,Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuhPesantr en Salafiyah, PasuruanKesabar annya
memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga olehkeluarga dan
masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya.San gat
jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak danistrinya.
Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah,sebenar nya
kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.“Kiai Hamid dulu sangat
keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamidlahir di Sumber Girang,
sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah,pada tahun 1333 H. Ia adalah
anak ketiga dari tujuh belas bersaudara,lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudarakandungn ya,
tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim,Lasem, dan
Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masihhidup, yaitu
Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.Hamid
dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiahseorang
ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulamadi Lasem
dan meninggal di Jember, Jawa Timur.Kiai Shiddiq adalah ayah KH.
Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. AhmadShiddiq, mantan Ro’is Am NU.
Keluarga Hamid memang memiliki keterikatanyang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudara nyayang
lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anakkeempat
itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umursembilan
tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.Tiga tahun kemudian,
cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua,untuk menimba ilmu di
pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari,Jemb er,
Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, KiaiHamid
sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil,sudah
tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.“Pada
usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya.Dalam
kepercayaanyang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaumsufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orangtert entu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secaranyata.Per temuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalianseseora ng.
Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama diLasem. Pada
usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar dipesantren
kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahunkemudian ia
diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersamakeluarga , paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindahke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desasekita rnya,
ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18tahun, ia
pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.Konon, seperti dituturkan
anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai
pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudahcukup maju
untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi.Pesantren
yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulamaterkemuka,
antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” MenurutIdris, inilah
pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukanbobo t keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman.Sepul ang dari pesantren itu, ia tinggaldi Pasuruan, bersamaorangtua nya.
Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengantekun, setiap
hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar diPasuruan saat
itu, tentang ilmu tasawwuf.Menjad i
BlantikHamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai
H.Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam
anak,satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih
hidup,yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.Hamid menjalani masa-masa
awal kehidupan berkeluarganya tidak denganmudah. Selama beberapa tahun
ia harus hidup bersama mertuanya di rumahyang jauh dari mewah. Untuk
menghidupi keluarganya, tiap hari iamengayuh sepeda sejauh 30 km pulang
pergi, sebagai blantik (broker)sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong,Pasuruan , 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.Kesaba rannya
bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisahyang dikawinkan
orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidakmauakur).
Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama,Anas, telah
mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.Terutama bagi sang istri
Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamidmerasa perlu mengajakistriny a
itu ke Bali, sebagai pelipur lara.Sekali lagi Nafisah dirundung
kesusahan yang amat sangat setelahbayinya yang kedua, Zainab, meninggal
dunia pula, padahal umurnya barubeberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang
bijak itu membawanya bertamasya ketempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik
istri Kiai Hamid, menuturkan,sepe rti
layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinyaselama
empat tahun.Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan
sedemikianrupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain
yangmengetanuin ya.
“Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga,ndak endang
munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapatcobaan dari anak
atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”,ka tanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.Kesa baran
beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. MenutIdris, tidak
pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya.Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewatketeladana n. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untukhal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajarmenyingsin g,
guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lainyang disuruh
membangunkan mereka,Hamid juga memberi pengajaran membacaal-Quran
dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitumereka
menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya kepesantren
lain.Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid
memberipengajar an.
Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti.Bahkan, ia
mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke babberikutnya.
Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dandiajarkan pada
istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkanadalah
kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karyaImam
Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan
bukanilmunya itu sendiri,” jelasnya.Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantrensalafi yah. Kalau pesantren-pesan tren tertentu dikenal denganspesialis asinya
dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat(gramatika bahasa
Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagaisuatu lembaga untuk
mencetak perilaku seorang santri yang baik.Di sini, Kiai Hamid
mewajibkan para santrinya shalat berjamaah limawaktu. Sementara jadwal
kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengankegiatan wirid yang hampir
memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikutioleh seluruh santri. Kiai
Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecualikepada santri-santri
tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu,khususnya di masa-masa
akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggusekali,
untuk umum.Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh
olehpengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini.
Merekatidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang,
Jember,bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang
diajarkanadalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiappengajian , ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagaiteladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita.Disug uhi
Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imamAl-Ghazali
dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayahal-Hiday ah.
Tapi, corak kesufian KiaiHamid bukanlah yang menolak duniasama sekali.
Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez,tapi ia mau
menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perab otannyacukup baik, meski tidak terkesan mewah.Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaianmaupu n
penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihanpakaian
yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah.“Berpaka ianlah
yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.Siapa tahu
anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kalikepada seorang
santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang sukamengumbar nafsu.
Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.Hasan Abdillah
bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekangnafsun ya dengan tidakmakan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahuitu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya ,
Hamidmemakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja.
“O,rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli
rotidalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada
suaminyakulitny a saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti.Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,”uja rnya.Konon,
berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. AbdulHamid,
orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus.Dan untuk
tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akanmenghubungi nya
sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memangselalu berusaha
untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yangterbentuk dari
ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) sepertidianjurk an Nabi.Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapatmenyembuny ikannya
kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa.Selain itu, ia
selalu mendatangi undangan, di manapun dan olehsiapapun.Se lain
terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamidterbentuk
oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenaikepedul ian
sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalambentuk
pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilahAbdurrah man
Wahid tentang sifatnya.Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli
ekonomi yang berpikir secaralebih makro. Walaubegitu, kita dapat
memperkirakan, sikap sosial KiaiHamid bukan hanya sekadar refleksi dari
motivasi keagamaan yang“egoistis”,
dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasalepas dari
kewajiban. Kita mungkin dapatmelihat, betapa ajaran sosialislam itu
sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meskitidak
tuntas.Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan
kepadakeluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan
seterusnya.Urut -urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetanggaterdeka t
yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secararutin,
terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untukmengawinka n
atau mengkhitan anaknya.H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia
meninggal, bercerita bahwabila ada tetangga yang sedang punya hajat,
Kiai Hamid memberi uang RP.10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan,
hari raya merupakan haridi mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai
rasa syukur setelahmenunaik an lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagailayaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakatfitri.Teta pi,
ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dantetangga
terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dansarung -
untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainyadari
pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurangdari
313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecahdibulan
Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauhakan
menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri darisikap
sosialnya yang kuat.Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikappenuh
perhatian yangtinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi,
bekas santri danadik iparnya, “Semua orang merasa paling disayang oleh
Kiai Hamid.”Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki
berkeliling keMushalla-mush alla
hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang- biasanya
anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Disamping itu,
beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehinggamembuat
tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwaorang yangmengetuk pintu
menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangatdiseganin ya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orangmengenalny a
secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.Ia selalu dengan penuh
perhatian mendengarkan keluhan dan masalah oranglain, dan terkadang
melalui perlambang-perl ambang, memberi pemecahanterhad apnya. Tak cuma itu.Ia sering memaksa orang untuk berceritamengen ai
yang menjadi masalahnya. “Ceritakan kepada saya apa yangmembuatmu
gundah,” desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telahberkali-ka li mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelahdibimbin g ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakanmas alah
keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya.Di saat lain, orang lain
terpaksa bercerita bahwa ia masih kekuranganuang menghadapi perkawinan
anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid.Kiai Hamid lalu memberinya uang
Rp 200.000. Pemberian uang untukmaksud-mak sudbaik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain seringdihajikan
orang lain, sudah puluhanpula orang yang telah naik hajiatas biayanya,
baik penuh maupun sebagiannya saja.Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid
yang telah berdiri ataudirenovasi atas prakarsa serta topangan
biayanya. Menurut H. Misykat,kegiata nseperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Iamemprakarsair enovasi
terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama initak pernah
terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uangdari
kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masingpa nitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan.Kepel oporan,
kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengankomitmen Idkhalus
surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yangsederhana dengan corak
religius yang kuat merupakan watakkepemimpin annya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidakmenonjolka n diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikand iri,
ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yangsuaranya
begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi disitulah,
khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar JawaTimur yang
sudah terlanjurmengag uminya itu, terletak kekuatan KiaiHamid.Konon ,
kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmudi
Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia
lahirdengan nama Mu’thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah
hajiyang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH AhmadQusyairi,m emanggilnya
dengan Hamid saja. “Nama saya memang Hamid saja, Bah(Ayah),” katanya,
seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu.Diantara karyanya, antara
lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkankitab
terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yangberisi
akidah, syari’ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliauadalah
Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yangmengatakanm engambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lainmenyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).Bagaima napun
beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusiabiasa), yang harus
merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25
Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim
Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok,
hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren
Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat
dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang
akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi
raji’un.Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka
yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri
Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun
kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di
depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komandoseorang imam,
KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali
dalam salat janazah yang yg dihadiri ribuan kaum muslimiin.
Semoga Allah meridloi beliau dan mengumpulkan kita bersama beliau dibawah bendera baginda Nabi Muhammad saw. Amin allahumma amin....
Disarikan dari berbagai sumber.
Smg bermanfaat.
ROMO KH ABDUL HAMID ABDULLAH PASURUAN
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.Pendidikan
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).Bagaima
Semoga Allah meridloi beliau dan mengumpulkan kita bersama beliau dibawah bendera baginda Nabi Muhammad saw. Amin allahumma amin....
Disarikan dari berbagai sumber.
Smg bermanfaat.